Kamis, 14 Maret 2019

PEMILU 2019 The Medsos Of War



Negeri ini sudah berkali – kali mengalami berbagai macam persoalan. Semenjak merdeka pada tahun 1945, telah berulangkali mengalami pergantian pucuk pimpinan. Mulai dari Soekarno, Soeharto, BJ. Habibie, Gusdur, Megawati, SBY dan saat ini Jokowi. Peralihan kekuasaanpun melewati beragam cara dan intrik politik. Bangsa kita pun telah berkali – kali tercabik – cabik bendera persaudaraannya. Bangsa kita telah saling berkelompok – kelompok dan bergolong-golongan.

Apa yang di alami oleh Neno Warisman baru – baru ini, pernah juga di alami oleh para aktivis penggiat demokrasi di zaman dahulu. Saya tidak perlu menceritakan semua kejadian yang tentunya telah anda ketahui semua.

Kalau sudah mendekati Pilpres itu biasa saling menghujat, saling sindir dan saling membuka aib lawan. Intinya bagaimana membangun Pencitraan di Mata Masyarakat Pemilih. Di Era milineal ini semua riak – riak perseteruan itu tidak hanya lewat Media cetak dan media televise saja, namun paling terasa merambah adalah di dunia Maya. The Cyberspace. Perseteruan itu sangat kentara dan terasa di Medsos. Entah itu menggunakan Facebook, Twitter, Instagram, dan sejenisnya. Saling lempar hujatan dan tanggapan para netizen itu lebih cepat daripada per nano detik.

Yang saya sayangkan, teman – teman sudah tidak menunjukkan bahasa – bahasa yang santun dalam menulis status, komen dan tanggapan. Selalu terpancing dengan emosi. Saya fikir sih wajar saja kalau kelompok pendukung suatu calon menuliskan kehebatan barang jualannya. Kita pun begitu. Namun sayangnya ketika sebuah pernyataan dibuat, tanggapan dan komen pun berhamburan, baik yang pro dan kontra. Nah kalau tidak senang di koment, ya dimatikan saya tools komennya. 



DILEMA SAMPAH


Dengan kian meningkatnya konsumerisasi di Masyarakat Modern sekarang ini, jumlah penggunaan pembungkus baik kertas, plastic dan sejenisnya juga meningkat tajam. Penyumbang terbesar sampah antara lain adalah pembungkus makanan dan minuman. Apalagi jika berbahan plastic atau bahan yang tidak mudah diurai oleh alam. Teluk Jakarta adalah salah satu bukti nyata ketika kumpulan sampah menumpuk dan menjadi lautan sampah. Sampah adalah penyebab terjadinya banjir. Sampah juga penyebab maraknya penyakit. Sampah adalah punca utama penyebab berbagai dilemma di masyarakat.
Di samping itu juga sampah adalah sumber penghasilan ratusan orang yang berprofesi sebagai pemulung. Bagi kita sampah adalah pengganggu lingkungan, maka bagi para pemulung, sampah adalah surga.
Dalam sebuah kesempatan saya pernah berkesempatan berbincang – bincang dengan seorang pemulung. Untuk penghasilan perhari saja mereka bisa mendapatkan uang antara Rp. 300 ribu sampai Rp. 600.000,- dari berbagai macam tumpukan sampah. Mulai sampah gelas plastic dan botol plastic, Kardus, besi tua, aluminium dan sampah makanan. Sudah kerjanya santai, modal alakadarnya. Rata – rata pemulung cukup bawa gerobak. Bisa di dorong, bisa di tarik pakai motor. Biasanya yang agak besar pendapatannya adalah pemulung yang menggunakan kendaraan motor. Karena pergerakannya lebih luas dan cepat.
Setiap bak sampah yang ada di kota, biasanya sudah ada penunggunya. Jadi bukan hanya pohon tua yang ada penunggunya. Bak sampah pun ada penunggunya. Bahkan ada yang bermukim di samping bak sampah. Jadi biasanya kalau sudah ada penunggunya, maka pemulung yang berkendaraan, biasanya keluar masuk komplek perumahan. Kalau kebetulanm ada yang lagi bongkar – bongkar gudang, maka mereka akan mendapat rezeki nomplok. Bahkan pemulung berani membeli dengan hitungan perkiloan. Untuk gelas dan botol plastic, perkilonya dihargai Rp. 1500,-, kalau kardus agak lumayan sekitar             Rp. 2000/Kilo. Begitu pula besi dan aluminium dihargai Rp. 3000 / kilo. Nah, jika sudah terkumpul baru di jual ke para tengkulak sampah dengan harga 2 kali lipatnya. Jadi wajar saja kalau dalam sehari bisa mendapatkan Rp. 300 ribu sampai Rp. 600 ribu perhari.
Nah jika kita hitung lagi Rp. 300 ribu x 30 hari = Rp. 9.000.000 / sebulan. Ini lebih besar dibandingkan gaji PNS di Kaltim golongan III sekitar Rp. 4.000.000,- / bulan. Mendengar hitung2an begitu saja sudah mencengangkan.
“Apalah artinya saya dibandingkan dengan pegawai negeri, pak.”
“Lho, justeru harusnya bapak merasa bangga, karena gaji bapak lebih besar dibandingkan mereka.” Jelas saya dengan bersemangat. “ Yang penting kita pandai bersyukur, Insya Allah akan menambah kenikmatan tersebut.”

Dilema Sampah Harian


Banyak orang tidak tahu betapa beratnya tugas sebagai tenaga kebersihan. Apalagi areanya luas seperti sekolahan. Sampah yang banyak dan menumpuk. Terhambur kemana – mana. Itu sangat sulit dibersihkan. Sudah pekerjaan yang berat, gajinya juga tidak sesuai dengan berat kerjanya. Sehingga mengakibatkan kebersihan tidak bisa maksimal. Idealnya sekolah dengan luas 3 sampai hectare, memerlukan tenaga 5 sampai 7 orang agar benar – benar maksimal dalam membersihkannya. Contoh seperti di Sekolahan kami SMK Negeri 6 Samarinda, dengan luas hampir 5 hektare. Harusnya tenaga kebersihan kisaran 6 sampai 10 orang, barulah kebersihan bisa maksimal.
Kondisi akan diperparah lagi, jika ada pelaksanaan event – event tertentu di sekolah. Maka tingkat limbah sampah juga meningkat tajam. Sayangnya. Tenaga kebersihan dengan jumlah hanya bertiga, sehingga kebersihan pun tidak maksimal.
Untuk pola di sekolah, limbah sampah juga bersifat terus menerus. Pagi – siang – sore, terus berkelanjutan tiada henti. Sehingga, jika pagi sudah dibersihkan, maka hanya dalam hitungan beberapa jam saja, maka sampah baru akan muncul. Apalagi jika kita mengikuti perhitungan survey tentang produksi sampah, maka setiap orang dalam satu hari menghasilkan sampah sebesar 1,5 kilo. Jika kita kalikan jumlah siswa sekitar 1000 orang. Maka silahkan kali aja 1000 orang x 1,5 kilo = 1500 kg. wow ….

NASIB TUKANG OJEK PERSIMPANGAN


Anda menunggu orang lain merubah hidup anda? Sampai kapan anda menanti ? Sampai memutih rambut dikepala anda ? Atau sampai ajal menjemput kita ? Saya dulu juga sempat berfikir hal yang sama. Saya menunggu kehadiran seorang kaya raya dan merubah hidup saya. Saya tunggu setiap hari, setiap bulan, bahkan setiap tahun. Saya jalani hidup dengan berharap munculnya orang tersebut. Namun yang ditunggu tak jua datang. Kalaupun ada yang datang, hanya bicara PHP dan PHP saja. Saya di-bunguli dan di waluhi saja. Sampai pada akhirnya ada seseorang yang membisikkan di telinga saya, “bahwa nasib sebuah kaum tidak akan berubah, kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya.”
Saya pun tersentak kaget, bagaikan bangun dari mimpi. Kini usia saya sudah 45 tahun, namun kehidupan saya masih seperti ini. Hidup dalam kesusahan dan serba pas – pasan. Pekerjaan saya menjadi tukang sapu di sebuah sekolah bonafid, tetapi gajinya masih di bawah standar. Jadi gaji yang ada serba pas dan bahkan kurang. Sementara isteri satu orang dan anak sudah 4 orang. Semuanya masih sekolah dan masih diberi makan. Untungnya yang anak sulung saya sudah lulus dan mendapat kerja di sebuah warung makan. Sudah punya gaji sendiri. Dan kadang bisa bantu kasih uang untuk ibunya.
Rumah masih menyewa dengan orang lain. Kendaraan yang dipakai masih motor pinjaman. Begitulah nasib saya. Kadang untuk menambah pemasukan, saya juga menjadi tukang ojek tradisional dipersimpangan. Ya cukuplah untuk tambahan, walau masih serba kurang. 
Apalagi menghadapi maraknya Ojek Online, maka kami para Ojek Tradisional mulai tersingkir dan terkalahkan oleh kehebatan canggihnya teknologi. Tapi saya nggak kurang akal, saya lalu membagikan nomor hape saya sama para langganan, sehingga ketika pelanggan saya perlu ojek, bisa langsung telpon saya. Untuk supaya mereka lebih tertarik, tarif jarak jauh dan dekat saya kasih harga saya yaitu : Rp.10.000. kalaupun mereka pengen nambah, ya silahkan. Namun saya tidak melayani orang – orang yang tidak saya kenal. Mengingat banyaknya para manusia psikopat..

Al Goritma kehidupan


Umur itu tidak berbekas, alias tidak kelihatan. Kegiatan kita sehari – hari yang berjalan tanpa terasa, tanpa ada peringatan. Semuanya berjalan sebagaimana berjalannya jam waktu. Sedangkan usia kita terus bertambah, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam berjalan terus. Terus. Terus............ tanpa kita sadari kita sudah tua dan sakit – sakitan, terus meninggal.
Selama perjalanan waktu, banyak hal yang terjadi. Perjalanan dan nasib manusia adalah masing – masing berbeda, walaupun sebenarnya pokok permasalahannya sama, atau sifatnya hanya pengulangan – pengulangan yang telah dialami oleh orang lain. Pengulangan yang sama telah terjadi dari jaman dulu hingga jaman sekarang. Maksudnya ? Ya setiap manusia akan mengalami fase – fase yang sama, yaitu : Lahir – besar – dewasa – tua – sakit – lalu mati. Atau lahir – besar – dewasa – menikah – punya anak – lalu menikahkan anaknya – lalu mendapat cucu dari anaknya – lalu tua – sakit dan meninggal. Apakah semua itu terdengar familiar. Ya semua itu akan kita alami dan kita lalui. Ibarat bahasa dunia teknik digital disebut dengan Algoritma kehidupan.
Lalu mengapa nasib manusia  berbeda – beda. Ya itulah disebut dengan simpangan – simpangan Algoritma. Nasib manusia berbeda itu tergantung ikhtiar dan tulisan takdirnya. Semisalnya begini.
A.      Udin lahir di keluarga orang kaya dan mampu. Hidupnya penuh kemewahan dan gemerlap harta. Semua impian ia bisa raih. Sekolah di sekolah favorita, kuliah di kampus ternama, bisa beli mobil sport mewah, tiap hari pesta pora. Ketika dewasa mendapat warisan perusahaan dan harta berlimpah.
B.      Nanang lahir di keluarga miskin dan melarat. Kira – kira menurut anda, apakah Nanang akan sama kehidupannya dengan si Udin ? Jelas beda dan jauh sekali.
C.      Sedang Toyyib lahir di keluarga sederhana namun ulet bekerja, sehingga ketika dia dewasa, ia pun kaya raya. So menurut anda apa yang terjadi ?
Lalu apakah kita akan menyalahkan Tuhan, ketika nasib kita jatuh melarat karena perbuatan kita sendiri ? Apakah kita menyalahkan Tuhan, ketika kita kehilangan segala – galanya ?
Jawab Allah, “Aku tergantung pada dugaan hambaKU.”
25/11/2018 – Tani Aman – Samarinda