Minggu, 03 Mei 2020

SEMBURAT JINGGA

Penulis : M. Yusni
Samarinda 10 Juli 1992

Yayang baru saja berlalu dari hadapanku. Berlalu dengan cuek dan tak sekalipun menegurku, sebagaimana selama ini selalu dilakukannya. Situasi begini sudah lama kuramalkan, selama kami menjalin hubungan.

Suasana kemarahan dan tak saling tegur selayaknya seteru beberapa keturunan. Padahal sebelumnya kami adalah sepasang sejoli yang saling mencintai dan merindui. 

Yayang kukenal sejak ia menjejakkan kakinya di pelataran SMA kami. Waktu itu, dia masih lugu dan culun. Maklum masih usia baru lulus SMP. Tapi kelincahannya sangat menawan hati, mengusik sebuah taman dalam dadaku yang selama ini sunyi. 

"Kamu namanya Yayang, ya? " tanyaku dulu ketika awal perkenalan kami.

"Darimana kamu tahu namaku? Kakak pasti melihat di Biodata saya khan ?" Wajahnya tampak jengah. Matanya yang bening dan gede, nampak berbinar - binar. sementara diujungnya tersungging senyum kecil.

Senyuman yang sama. Senyum yang rasanya pernah kulihat entah dimana. Tapi senyum itulah yang kemudian selalu mengusik malam - malam membosankan. Mengusik ketenanganku belajar di kelas. Rasanya selalu kepingin ke kelas sebelah, mencari - cari bayangannya.

Sementara aku mulai akrab dengan Yayang. Riwi sahabatnya yang selalu ikutan kemanapun kami pergi. Entah jam kosong ataupun jam istirahat, selalu saja kami bertiga ngalur ngidul. Entah itu di kantin atau pun di Taman Sekolah.

Yayang suka bikin puisi kalau perasaannya sedang mood atau kambuh romantisnya. kesukaan yang sama dengan aku. Saking seringnya aku menulis puisi dan kukirimkan diam - diam ke Radio Don Bocho Jln. Pasundan Kampung Jawa. Banyak puisi yang kutulis tentang berbagai macam perasaanku. Aku sudah terbiasa mulai SMP dan mengirimkannya ke Radio tersebut. Hanya saja aku tidak pernah menuliskan nama asliku. Aku lebih suka bersembunyi dibelakang sebuah nama samaran yaitu Pendekar Merpati dari Lembah Sunyi. 

Tanpa terasa hubunganku dengan Yayang cukup lama berlangsung. Kami sering saling mengirim surat yang panjang - panjang, yang penuh dengan puisi - puisi khas anak muda. Demikian itulah kemudian kami begitu hanyut dalam romantisme usia belia. 

Namun tiba - tiba ada perubahan sikap dari Riwi. Sahabat Yayang yang selalu kemana - mana mengikuti kami mendadak menjauhi kami. Tiada keakraban seperti dulu lagi. Setelah Yayang bercerita, barulah aku sadar, ternyata Riwi memendam perasaan yang sama terhadap diriku, sebagaimana perasaan Yayang terhadapku. Hal itu makin terungkap ketika suatu hari Yayang memergoki Riwi sedang menatap selembar fotoku. Sementara matanya berkaca - kaca.

Sejak itulah hubunganku dengan Yayang mulai terasa hambar. Yayang merasa bersalah karena telah melukai perasaan sahabat terbaiknya. Tidak ada lagi keceriaan itu. Tidak ada lagi berlembar - lembar surat yang dikirim Yayang kepadaku. Sampai suatu hari ada selembar surat diantar oleh sahabatku Mas Budhi. Ketika kubuka - isinya hanya selembar kertas putih - dengan sebuah tulisan singkat 
: " Putus. " 

Riwi sendiri tiba - tiba tidak pernah turun sekolah lagi. Meninggalkan aku dan Yayang dalam hubungan yang hambar dan pahit. Hubunganku sudah begitu jauh. Kami pun sudah tidak bertegur sapa lagi.

Sampai suatu hari, ada informasi kalau Riwi masuk rumah sakit, kritis dan akhirnya meninggal. Semakin menambah rasa bersalah yang dalam diriku. Aku bisa memahami perasaan Yayang terhadapku. Dari rasa cinta, yang kemudian berubah menjadi rasa benci yang teramat sangat.

Hingga kemudian aku lulus dari SMA, aku tidak pernah bertemu lagi dengan Yayang. Semua kisah hubungan kami kini hancur lembur di balik semburat jingga mentari yang mulai tenggelam.

Dibalik sampul buku terakhir yang kuterima dari Yayang, ada sebuah tulisannya :

" Ini semua gara - gara kamu. Seandainya aku tak mengenalmu dulu, maka semua ini tidak mungkin terjadi. Apalah artinya cinta, sementara aku harus mengorbankan persahabatanku. Selamat tinggal. Mudah mudahan kita tidak akan pernah bertemu lagi."





Tidak ada komentar:

Posting Komentar